Suatu hari, seorang anak lima tahun naik ke atas meja dan menjatuhkan
sebuah guci besar di samping meja itu. Guci itu adalah guci kesayangan ibunya,
guci yang sangat mahal dari timur tengah, pemberian dari suaminya yang tak lain
adalah ayah anak itu. Kemudian ibunya marah besar melihat guci kesayangannya
yang sudah pecah berkeping-keping! Kemarahannya pun bertambah dua kali lipat ketika
melihat anak nakal itu bermain di atas meja yang berbahaya. Dilucutinya baju
anak itu, kemudian dipecutkan sapu lidi di punggungnya hingga membekas merah.
Masih kurang puas, ibunya membawanya ke kamar mandi dan menceburkan anak itu di
bak mandi yang airnya setinggi leher anak itu. Memang tidak tenggelam, tapi
bayangkan betapa perih punggungnya yang merah-merah hingga dia menangis
kesakitan. Tidak ada kata-kata apapun yang keluar dari mulut anak kecil itu
kecuali hanya jerit kesakitan.
"Diam! Dasar anak nakal yang tidak tau diri!" bentak Ibunya.
Plak! Seketika itu, tangisnya berhenti dengan nafas
yang tersengal-sengal.
Apa yang terjadi?
Coba kita lihat apa yang terjadi. Anak tersebut adalah anak yang
cerdas, penuh imajinasi dan sangat mencintai ibu dan ayahnya. Dia senang
menggambar dengan sekotak pensil warna yang dibelikan ibunya dua hari lalu. Pada
hari itu, dia telah menggambar keadaan keluarganya yang sangat dia banggakan. Dia menggambar
Ayahnya yang mengenakan jas, dan tentu ibunya yang berambut panjang mengenakan
pakaian merah muda, warna yang paling disukai ibunya. Lalu menggambar dirinya
bergandeng tangan diantara ayah ibunya seraya melompat kegirangan. Tak lupa dia
gambarkan simbol hati merah di atas mereka dan latar hijau yang menyejukkan.
Benar-benar dia sungguh-sungguh ingin menggambar keluarga yang sangat dia
cintai, sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang dia dapatkan.
Dia ingin mempersembahkan gambar itu kepada ibunya sebagai rasa terima
kasih telah memberinya hadiah sekotak pensil. Dia pun ingin menempelkannya di
tembok menggunakan lem perekat dan berharap bisa menjadi sesuatu yang mengejutkan untuk ibunya. :)
Dia ingin menempelkannya di tembok yang agak tinggi supaya bisa
langsung terlihat jika ibunya lewat dari arah dapur. Tetapi, badannya yang
masih mungil membuatnya berpikir untuk naik ke atas meja setinggi kepalanya. Di
depan meja itu ada kursi yang bisa dia panjat sebelum naik ke meja. Sebelum dia
sampai ke atas meja, kakinya tergelincir. Beruntung si anak tidak jatuh. Tetapi
nahas, ketika kakinya tergelincir, saat itu tubuhnya terkejut, dan kakinya
menghentak ke arah guci besar yang berdiri di samping meja itu. Guci itu roboh
dan jatuh berkeping-keping. Ibunya datang mendengar suara pecahan guci gemerincing dan melihat anak itu di atas meja. Seketika, ibu itu mengambil sapu lidi dan memarahinya habis-habisan. Tidak ada kata, tidak
ada penjelasan yang keluar dari mulut anak itu. Pikirannya kacau mendengar
bentakan dari ibunya. Mulutnya bergetar seolah-olah ingin mengeluarkan satu kata,
tapi terpendam karena kalah cepat dengan omelan ibunya. Pikiran anak kecil yang kacau, membuat
anak itu melupakan satu-satunya kata yang percuma jika diucapkan, yaitu kata “maaf....”
Satu hal yang bisa ia lakukan adalah menangis sekencang-kencangnya dan menerima
kesalahan yang tidak dia sengaja. Tapi semakin keras menangis, semakin keras pukulan
sapu lidi yang ia terima. Kerasnya tangisan ini, membuat ibunya geregetan. Lalu
anak itu diceburkan ke dalam bak mandi, berharap tangisannya usai. Tapi tangisannya
malah semakin kencang. Tangisan ini bukan lagi karena pikirannya yang kacau,
tapi karena perasaan hatinya yang terluka. Hatinya telah sakit dan menyeruak
dendam yang diteriakkan lewat tangis yang semakin kencang dan semakin kencang
bila semakin dendam. Dan akhirnya, ketegangan ini berakhir dengan sebuah
tamparan keras yang mendarat di pipinya. Seketika itu tangisnya berhenti! Membuat
semua dendamnya tertahan sesak di dada, dan menyebabkan nafasnya tersengal-sengal.
Coba kita renungkan sedikit dari cerita di atas. Barangkali kita pernah
mengalaminya, baik sebagai seorang anak atau sebagai orang tua. Seorang anak, kadang
tidak sengaja melakukan sesuatu yang tidak disukai orang tuanya. Tapi itulah
anak, seakan-akan mempunyai dunia dan kesenangannya sendiri, yang mungkin tidak
dimengerti oleh orang dewasa seperti:
Membahayakan diri di atas meja,
mencorat-coret tembok,
merusak piring dan ember,
mengotori diri di lumpur,
membuat tembok kamar mandi basah,
dan lain sebagainya.
mencorat-coret tembok,
merusak piring dan ember,
mengotori diri di lumpur,
membuat tembok kamar mandi basah,
dan lain sebagainya.
Hei! Halooooo! Itu akan kita anggap sebagai “ULAH ANAK NAKAL” jika kita
melihatnya selalu dari kacamata negatif. Tapi lihat fakta-fakta dan tanyakan dulu
apa yang ia lakukan. Mungkin ada cerita yang tidak kita mengerti dibalik
imajinasinya yang spektakuler.
Membahayakan diri di atas meja = Mengekspresikan diri di atas meja.
Ya mungkin seperti halnya cerita di atas, atau sebenarnya dia sedang terobsesi
menjadi seorang penyanyi panggung yang terkenal setelah dia menonton konser
Agnes, maybe... atau ingin jadi seperti boy band Suju, mabye... Sehingga meja
dia anggap sebagai panggungnya?
Kita menganggapnya itu tindakan berbahaya dan bodoh, tapi baginya itu
sangat amazing. Sebaliknya, kalau kita melarang anak-anak melakukan itu, mungkin
anak-anak akan menganggap tindakan kitalah yang sebenarnya bodoh dan tidak mengerti
bahwa itu sangat keren.
Dengan kacamata positif akan membuat kita melihat itu bukan untuk membahayakan
diri di atas meja tapi mengekspresikan diri di atas meja.
Mencorat-coret tembok =
Menuangkan imajinasi di tembok.
Ini sering terjadi pada anak siapa pun. Mencoret-coret tembok hampir
dilakukan semua anak di dunia ini. Namun, sebenarnya ini bukan mencorat-coret
tembok, tapi menuangkan imajinasi di tembok. Saya sendiri pun pernah,
bahkan diceritakan oleh orang tua saya kalau saya pernah menggambar kereta bersambung-sambung
sangaaaat panjang di sekeliling tembok ruang tamu. So, jangan punya anak kalau
tembok anda tidak mau dicoret-coret atau jangan punya tembok kalau tembok anda
tidak mau dicoret-coret anak anda.
Merusak piring dan ember =
mungkin... terobsesi seorang bintang pemain drum:
Ya barangkali anak anda telah melihat seorang drumer lalu terobsesi menjadi
seperti itu. Kemudian dia ambil piring yang seperti symbal, dia ambil ember
seperti drum atau bass dan mulai memainkannya. Mungkin kita pikir itu tindakan merusak,
tapi dia pikir itu hebat, dan tentu kalau kita melarangnya, dia mungkin ingin
mengungkapkan,
“Ayah, ini kan sangat hebat! Kenapa Ayah melarang? Ayah ini merusak waktu ku saja!” Nah lho?
Mengotori diri di lumpur = seni
yang menakjubkan.
Mungkin baginya, bermain lumpur sama halnya sedang menciptkan seni yang
menakjubkan. Dia bisa membuat apa saja dari lumpur: membuat bola, membuat
rumah-rumahan, membuat rupa binatang dan masih banyak imajinasi anak yang tidak
kita tahu. Itulah seni, kadang kotor tapi menakjubkan.
Membuat tembok kamar mandi basah
= mungkin... sedang berperang degan cicak atau semut yang sedang jalan-jalan di
tembok kamar mandi (terobsesi film Rambo atau Die Hard)
Hahahahaha... Kalau anda mendapati anak anda telah membuat basah tembok
di kamar mandi. Jangan Kaget! Mungkin dia sedang terobsesi film Rambo dan berperang
dengan cicak atau semut dengan menggunakan amunisi air.
So, tidak ada yang patut kita persalahkan pada imajinasi anak-anak
seperti contoh di atas. Mungkin anak anda akan lebih ekstrim lagi melakukan
hal-hal yang lebih membahayakan daripada itu. Mungkin anak anda jauh lebih
menakjubkan daripada itu. Pandangan yang negatif akan menganggap itu sebagai “ULAN ANAK NAKAL”, tetapi kalau kita melihat
dari persepsi positif, itu akan terlihat sebagai “EKSPRESI ANAK MENAKJUBKAN”. Yang perlu dilakukan adalah segera mengarahkannya
saja supaya imajinasinya tidak sia-sia dan tidak membahayakan.
Bagi saya, perilaku-perilaku demikian haruslah kita syukuri. Itu adalah
petunjuk Tuhan atas talenta yang sedang dia gemari, dimana dia sedang
menunjukkan passionnya. Kalau dia bermain di atas meja karena obsesi bernyanyi,
tidak ada salahnya kita mengajari dia menyanyi dan berusaha membuat dia
bernyanyi di panggung sebenarnya. Kalau dia menggambar di tembok, hargai hasil
karyanya dan belikan dia papan tulis. Atau, kalau ingin mudah, biarkan saja
dia menggambar di tembok, tapi di tembok tertentu, misalnya hanya boleh di tembok
kamarnya. Dia akan senang dan tanpa beban melakukannya, sehingga imajinasinya
pun akan berkembang menjadi semakin hebat! :D
Kalau boleh jujur sih, sebenarnya contoh-contoh di atas, adalah
kelakuan saya pribadi yang masih saya ingat sampai sekarang, mungkin yang terlupakan juga sangat banyak. Wkwkwkwk. Jadi
malu.... Bagaimana tanggapan orang tua saya? Beruntung orang tua saya tidak
pernah melarang, hanya keheranan saja dan mengarahkan saya supaya melakukannya
dengan cara yang lebih baik.
Waktu kecil, saya disarankan menggambar di tembok depan rumah, yang tak
lain adalah tembok gereja. Temboknya besar, dan lapang. Jadi ya tidak akan ada yang marah kalau saya menggambar di
sana.
Saat ketahuan berekspresi di atas meja, lalu orang tua saya menggiring
saya supaya bisa bernyanyi dan berkekspresi di pentas RW. Dan itu pun benar-benar
terjadi bersama sahabat, depan rumah saya, yang bernama Insan. Dulu kita mentas
bahkan di panggung kelurahan. Tapi bakat saya bukan menyanyi atau bermain drum,
Insan itu yang menyanyi, saya keyboardisnya. Hehe.
Saya juga punya drum di rumah karena saya pun juga suka nge-band. Tapi
minat saya ternyata bukan bermain drum, tapi bermain piano/keyboard. Jadi, drumnya tetap ada dan dilengkapi dengan alat-alat band lain sehingga menjadi sebuah studio. Hehe.
Kalau soal bermain air di kamar mandi... Ketika saya selesai mandi, orang
tua saya kemudian melihat kondisi kamar mandi dengan sangat keheranan dan pasti
ditanyai. Dan kalau ditanya, ya... saya cuma diam entah mau bilang apa. Saya
berpikir, pasti mereka tidak mengerti.
Kalau tentang bermain lumpur..., itu sih sudah biasa dan pastinya tidak
dimarahi. Kan pakai sabun life****. TIDAK
TAKUT KOTOR. #eh..
Ya, intinya... Kegiatan anak itu amazing kalau kita mengetahuinya dari kacamata
yang positif. Itulah anak, seakan-akan mempunyai dunia dan kesenangannya
sendiri, yang mungkin tidak dimengerti oleh orang dewasa. Dan apakah anda
pernah berpikir, barangkali anak-anak juga tidak mengerti apa yang dipikiran
orang dewasa? Dalam benaknya, mungkin mereka berpikir
“Apa sih kok nglarang-nglarang? Ini kan keren...”
Saya sendiri belum punya anak, ya memang belum menikah lha wong saya
masih umur 22 tahun waktu menulis ini. Tapi saya berharap, semoga saya pribadi
tidak lupa dengan apa yang saya pahami dan saya tulis ini ketika nanti saya
sudah punya keturunan. Begitu juga anda yang membaca tulisan ini, baik yang
sudah bertelur, akan bertelur, maupun yang baru berencana membuat telur. #ups
Dari cerita ibu dan anak di awal tulisan ini kita bisa memetik sebuah
pelajaran. Sebenarnya anak itu sangat mencintai ibunya, bahkan berniat
mewujudkan cinta itu melalui sebuah gambar. Tapi, ada kejadian yang tidak
sengaja terjadi. Sang ibu pun terlalu terburu-buru menyalahkannya. Dia tidak sadar telah
membunuh telenta anak itu dan telah mengubah rasa cinta menjadi dendam. Ibu tersebut
sangat tidak sadar, betapa berharganya talenta anak itu dibandingkan gucinya.
Bahkan pasti sang anak merasa ibunya lebih mencintai guci itu daripada dirinya.
Ntah kemudian apakah sang ibu tau maksud sebenarnya dari anak itu. Tapi yang
jelas, anak itu tidak akan berani lagi mengungkapkan perasaan cinta yang
sebenarnya. Gambar itu akan sia-sia baginya dan dia akan benar-benar kecewa
dengan talenta yang dimiliknya.
Jika ibu itu melihat gambarnya, lalu menanyakan maksud anak itu, pasti
dia akan menyesal dan merasa sangat bersalah setelah mendengar penjelasan anaknya. Dan
tentu, ibu yang bertanggung jawab akan melakukan apapun supaya kepercayaan diri
anaknya pulih.
Tetapi bayangkan! Jika Tuhan berkehendak untuk tidak memberi tahu ibu
itu, maka sang ibu pun tidak akan tau bahwa sebenarnya anak itu sangat
mencintainya. Sampai kapanpun tidak akan pernah tau! Dia hanya berpikir bahwa
anak itu sangat nakal dan membawa petaka. Ibu tersebut sama halnya seperti seorang
pembunuh! Bahkan lebih kejam dari pembunuh, karena kalau orang membunuh, yang
dibunuh itu langsung tewas dan tidak merasakan apa-apa. Tapi kalau kita berbuat
demikian pada anak-anak, maka pembunuhan itu sangat menyiksa dan akan dikenang
sampai anak itu mati. Itu namanya pembunuhan karakter!
Hargailah talenta anak-anak, walaupun terlihat menjengkelkan. Jika
seorang anak melakukan kesalahan, jangan terburu-buru menghakimi, tapi tanyakan
dulu apa maksudnya.
"Ada jurang pemisah antara anak dan orang dewasa yang membuat perbedaan persepsi diantara keduanya. Tidak hanya antara anak dan orang dewasa, antar anak-anak, antar remaja, dan antar orang dewasa pun sering terjadi kesalahan persepsi. Kita hanya perlu bersabar dalam membangun jembatan persepsi yang bisa membuat kita saling mengerti satu sama lain." -Rodez-
So, kalau dari kita ada yang berbuat salah. Jangan marah dulu, tapi
pikirkan dulu, tanyakan maksudnya, baru dihakimi... Sepakat?
SMANGAD!
Ditulis pada 9 Feb 2013 18:00. Malam ketika mendung menyelimuti hati.