Sabtu, 09 Februari 2013

Jembatan Persepsi

Suatu hari, seorang anak lima tahun naik ke atas meja dan menjatuhkan sebuah guci besar di samping meja itu. Guci itu adalah guci kesayangan ibunya, guci yang sangat mahal dari timur tengah, pemberian dari suaminya yang tak lain adalah ayah anak itu. Kemudian ibunya marah besar melihat guci kesayangannya yang sudah pecah berkeping-keping! Kemarahannya pun bertambah dua kali lipat ketika melihat anak nakal itu bermain di atas meja yang berbahaya. Dilucutinya baju anak itu, kemudian dipecutkan sapu lidi di punggungnya hingga membekas merah. Masih kurang puas, ibunya membawanya ke kamar mandi dan menceburkan anak itu di bak mandi yang airnya setinggi leher anak itu. Memang tidak tenggelam, tapi bayangkan betapa perih punggungnya yang merah-merah hingga dia menangis kesakitan. Tidak ada kata-kata apapun yang keluar dari mulut anak kecil itu kecuali hanya jerit kesakitan. 
"Diam! Dasar anak nakal yang tidak tau diri!" bentak Ibunya.
Plak! Seketika itu, tangisnya berhenti dengan nafas yang tersengal-sengal.

Apa yang terjadi?

Coba kita lihat apa yang terjadi. Anak tersebut adalah anak yang cerdas, penuh imajinasi dan sangat mencintai ibu dan ayahnya. Dia senang menggambar dengan sekotak pensil warna yang dibelikan ibunya dua hari lalu. Pada hari itu, dia telah menggambar keadaan keluarganya yang sangat dia banggakan. Dia menggambar Ayahnya yang mengenakan jas, dan tentu ibunya yang berambut panjang mengenakan pakaian merah muda, warna yang paling disukai ibunya. Lalu menggambar dirinya bergandeng tangan diantara ayah ibunya seraya melompat kegirangan. Tak lupa dia gambarkan simbol hati merah di atas mereka dan latar hijau yang menyejukkan. Benar-benar dia sungguh-sungguh ingin menggambar keluarga yang sangat dia cintai, sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang dia dapatkan.

Dia ingin mempersembahkan gambar itu kepada ibunya sebagai rasa terima kasih telah memberinya hadiah sekotak pensil. Dia pun ingin menempelkannya di tembok menggunakan lem perekat dan berharap bisa menjadi sesuatu yang mengejutkan untuk ibunya. :)

Dia ingin menempelkannya di tembok yang agak tinggi supaya bisa langsung terlihat jika ibunya lewat dari arah dapur. Tetapi, badannya yang masih mungil membuatnya berpikir untuk naik ke atas meja setinggi kepalanya. Di depan meja itu ada kursi yang bisa dia panjat sebelum naik ke meja. Sebelum dia sampai ke atas meja, kakinya tergelincir. Beruntung si anak tidak jatuh. Tetapi nahas, ketika kakinya tergelincir, saat itu tubuhnya terkejut, dan kakinya menghentak ke arah guci besar yang berdiri di samping meja itu. Guci itu roboh dan jatuh berkeping-keping. Ibunya datang mendengar suara pecahan guci gemerincing dan melihat anak itu di atas meja. Seketika, ibu itu mengambil sapu lidi dan memarahinya habis-habisan. Tidak ada kata, tidak ada penjelasan yang keluar dari mulut anak itu. Pikirannya kacau mendengar bentakan dari ibunya. Mulutnya bergetar seolah-olah ingin mengeluarkan satu kata, tapi terpendam karena kalah cepat dengan omelan ibunya. Pikiran anak kecil yang kacau, membuat anak itu melupakan satu-satunya kata yang percuma jika diucapkan, yaitu kata “maaf....” Satu hal yang bisa ia lakukan adalah menangis sekencang-kencangnya dan menerima kesalahan yang tidak dia sengaja. Tapi semakin keras menangis, semakin keras pukulan sapu lidi yang ia terima. Kerasnya tangisan ini, membuat ibunya geregetan. Lalu anak itu diceburkan ke dalam bak mandi, berharap tangisannya usai. Tapi tangisannya malah semakin kencang. Tangisan ini bukan lagi karena pikirannya yang kacau, tapi karena perasaan hatinya yang terluka. Hatinya telah sakit dan menyeruak dendam yang diteriakkan lewat tangis yang semakin kencang dan semakin kencang bila semakin dendam. Dan akhirnya, ketegangan ini berakhir dengan sebuah tamparan keras yang mendarat di pipinya. Seketika itu tangisnya berhenti! Membuat semua dendamnya tertahan sesak di dada, dan menyebabkan nafasnya tersengal-sengal.

Coba kita renungkan sedikit dari cerita di atas. Barangkali kita pernah mengalaminya, baik sebagai seorang anak atau sebagai orang tua. Seorang anak, kadang tidak sengaja melakukan sesuatu yang tidak disukai orang tuanya. Tapi itulah anak, seakan-akan mempunyai dunia dan kesenangannya sendiri, yang mungkin tidak dimengerti oleh orang dewasa seperti:

Membahayakan diri di atas meja,
mencorat-coret tembok,
merusak piring dan ember,
mengotori diri di lumpur,
membuat tembok kamar mandi basah,
dan lain sebagainya.

Hei! Halooooo! Itu akan kita anggap sebagai “ULAH ANAK NAKAL” jika kita melihatnya selalu dari kacamata negatif. Tapi lihat fakta-fakta dan tanyakan dulu apa yang ia lakukan. Mungkin ada cerita yang tidak kita mengerti dibalik imajinasinya yang spektakuler.

Membahayakan diri di atas meja = Mengekspresikan diri di atas meja.

Ya mungkin seperti halnya cerita di atas, atau sebenarnya dia sedang terobsesi menjadi seorang penyanyi panggung yang terkenal setelah dia menonton konser Agnes, maybe... atau ingin jadi seperti boy band Suju, mabye... Sehingga meja dia anggap sebagai panggungnya?

Kita menganggapnya itu tindakan berbahaya dan bodoh, tapi baginya itu sangat amazing. Sebaliknya, kalau kita melarang anak-anak melakukan itu, mungkin anak-anak akan menganggap tindakan kitalah yang sebenarnya bodoh dan tidak mengerti bahwa itu sangat keren.

Dengan kacamata positif akan membuat kita melihat itu bukan untuk membahayakan diri di atas meja tapi mengekspresikan diri di atas meja.

Mencorat-coret tembok = Menuangkan imajinasi di tembok.

Ini sering terjadi pada anak siapa pun. Mencoret-coret tembok hampir dilakukan semua anak di dunia ini. Namun, sebenarnya ini bukan mencorat-coret tembok, tapi menuangkan imajinasi di tembok. Saya sendiri pun pernah, bahkan diceritakan oleh orang tua saya kalau saya pernah menggambar kereta bersambung-sambung sangaaaat panjang di sekeliling tembok ruang tamu. So, jangan punya anak kalau tembok anda tidak mau dicoret-coret atau jangan punya tembok kalau tembok anda tidak mau dicoret-coret anak anda.

Merusak piring dan ember = mungkin... terobsesi seorang bintang pemain drum:

Ya barangkali anak anda telah melihat seorang drumer lalu terobsesi menjadi seperti itu. Kemudian dia ambil piring yang seperti symbal, dia ambil ember seperti drum atau bass dan mulai memainkannya. Mungkin kita pikir itu tindakan merusak, tapi dia pikir itu hebat, dan tentu kalau kita melarangnya, dia mungkin ingin mengungkapkan,
“Ayah, ini kan sangat hebat! Kenapa Ayah melarang? Ayah ini merusak waktu ku saja!” Nah lho?

Mengotori diri di lumpur = seni yang menakjubkan.

Mungkin baginya, bermain lumpur sama halnya sedang menciptkan seni yang menakjubkan. Dia bisa membuat apa saja dari lumpur: membuat bola, membuat rumah-rumahan, membuat rupa binatang dan masih banyak imajinasi anak yang tidak kita tahu. Itulah seni, kadang kotor tapi menakjubkan.

Membuat tembok kamar mandi basah = mungkin... sedang berperang degan cicak atau semut yang sedang jalan-jalan di tembok kamar mandi (terobsesi film Rambo atau Die Hard)

Hahahahaha... Kalau anda mendapati anak anda telah membuat basah tembok di kamar mandi. Jangan Kaget! Mungkin dia sedang terobsesi film Rambo dan berperang dengan cicak atau semut dengan menggunakan amunisi air.

So, tidak ada yang patut kita persalahkan pada imajinasi anak-anak seperti contoh di atas. Mungkin anak anda akan lebih ekstrim lagi melakukan hal-hal yang lebih membahayakan daripada itu. Mungkin anak anda jauh lebih menakjubkan daripada itu. Pandangan yang negatif akan menganggap itu sebagai “ULAN ANAK NAKAL”, tetapi kalau kita melihat dari persepsi positif, itu akan terlihat sebagai “EKSPRESI ANAK MENAKJUBKAN”. Yang perlu dilakukan adalah segera mengarahkannya saja supaya imajinasinya tidak sia-sia dan tidak membahayakan.

Bagi saya, perilaku-perilaku demikian haruslah kita syukuri. Itu adalah petunjuk Tuhan atas talenta yang sedang dia gemari, dimana dia sedang menunjukkan passionnya. Kalau dia bermain di atas meja karena obsesi bernyanyi, tidak ada salahnya kita mengajari dia menyanyi dan berusaha membuat dia bernyanyi di panggung sebenarnya. Kalau dia menggambar di tembok, hargai hasil karyanya dan belikan dia papan tulis. Atau, kalau ingin mudah, biarkan saja dia menggambar di tembok, tapi di tembok tertentu, misalnya hanya boleh di tembok kamarnya. Dia akan senang dan tanpa beban melakukannya, sehingga imajinasinya pun akan berkembang menjadi semakin hebat! :D

Kalau boleh jujur sih, sebenarnya contoh-contoh di atas, adalah kelakuan saya pribadi yang masih saya ingat sampai sekarang, mungkin yang terlupakan juga sangat banyak. Wkwkwkwk. Jadi malu.... Bagaimana tanggapan orang tua saya? Beruntung orang tua saya tidak pernah melarang, hanya keheranan saja dan mengarahkan saya supaya melakukannya dengan cara yang lebih baik.

Waktu kecil, saya disarankan menggambar di tembok depan rumah, yang tak lain adalah tembok gereja. Temboknya besar, dan lapang. Jadi ya tidak akan ada yang marah kalau saya menggambar di sana.

Saat ketahuan berekspresi di atas meja, lalu orang tua saya menggiring saya supaya bisa bernyanyi dan berkekspresi di pentas RW. Dan itu pun benar-benar terjadi bersama sahabat, depan rumah saya, yang bernama Insan. Dulu kita mentas bahkan di panggung kelurahan. Tapi bakat saya bukan menyanyi atau bermain drum, Insan itu yang menyanyi, saya keyboardisnya. Hehe.

Saya juga punya drum di rumah karena saya pun juga suka nge-band. Tapi minat saya ternyata bukan bermain drum, tapi bermain piano/keyboard. Jadi, drumnya tetap ada dan dilengkapi dengan alat-alat band lain sehingga menjadi sebuah studio. Hehe.

Kalau soal bermain air di kamar mandi... Ketika saya selesai mandi, orang tua saya kemudian melihat kondisi kamar mandi dengan sangat keheranan dan pasti ditanyai. Dan kalau ditanya, ya... saya cuma diam entah mau bilang apa. Saya berpikir, pasti mereka tidak mengerti.

Kalau tentang bermain lumpur..., itu sih sudah biasa dan pastinya tidak dimarahi. Kan pakai sabun life****.  TIDAK TAKUT KOTOR. #eh..

Ya, intinya... Kegiatan anak itu amazing kalau kita mengetahuinya dari kacamata yang positif. Itulah anak, seakan-akan mempunyai dunia dan kesenangannya sendiri, yang mungkin tidak dimengerti oleh orang dewasa. Dan apakah anda pernah berpikir, barangkali anak-anak juga tidak mengerti apa yang dipikiran orang dewasa? Dalam benaknya, mungkin mereka berpikir 
“Apa sih kok nglarang-nglarang? Ini kan keren...”
Saya sendiri belum punya anak, ya memang belum menikah lha wong saya masih umur 22 tahun waktu menulis ini. Tapi saya berharap, semoga saya pribadi tidak lupa dengan apa yang saya pahami dan saya tulis ini ketika nanti saya sudah punya keturunan. Begitu juga anda yang membaca tulisan ini, baik yang sudah bertelur, akan bertelur, maupun yang baru berencana membuat telur. #ups

Dari cerita ibu dan anak di awal tulisan ini kita bisa memetik sebuah pelajaran. Sebenarnya anak itu sangat mencintai ibunya, bahkan berniat mewujudkan cinta itu melalui sebuah gambar. Tapi, ada kejadian yang tidak sengaja terjadi. Sang ibu pun terlalu terburu-buru menyalahkannya. Dia tidak sadar telah membunuh telenta anak itu dan telah mengubah rasa cinta menjadi dendam. Ibu tersebut  sangat tidak sadar, betapa berharganya talenta anak itu dibandingkan gucinya. Bahkan pasti sang anak merasa ibunya lebih mencintai guci itu daripada dirinya. Ntah kemudian apakah sang ibu tau maksud sebenarnya dari anak itu. Tapi yang jelas, anak itu tidak akan berani lagi mengungkapkan perasaan cinta yang sebenarnya. Gambar itu akan sia-sia baginya dan dia akan benar-benar kecewa dengan talenta yang dimiliknya.

Jika ibu itu melihat gambarnya, lalu menanyakan maksud anak itu, pasti dia akan menyesal dan merasa sangat bersalah setelah mendengar penjelasan anaknya. Dan tentu, ibu yang bertanggung jawab akan melakukan apapun supaya kepercayaan diri anaknya pulih.

Tetapi bayangkan! Jika Tuhan berkehendak untuk tidak memberi tahu ibu itu, maka sang ibu pun tidak akan tau bahwa sebenarnya anak itu sangat mencintainya. Sampai kapanpun tidak akan pernah tau! Dia hanya berpikir bahwa anak itu sangat nakal dan membawa petaka. Ibu tersebut sama halnya seperti seorang pembunuh! Bahkan lebih kejam dari pembunuh, karena kalau orang membunuh, yang dibunuh itu langsung tewas dan tidak merasakan apa-apa. Tapi kalau kita berbuat demikian pada anak-anak, maka pembunuhan itu sangat menyiksa dan akan dikenang sampai anak itu mati. Itu namanya pembunuhan karakter!

Hargailah talenta anak-anak, walaupun terlihat menjengkelkan. Jika seorang anak melakukan kesalahan, jangan terburu-buru menghakimi, tapi tanyakan dulu apa maksudnya.
 "Ada jurang pemisah antara anak dan orang dewasa yang membuat perbedaan persepsi diantara keduanya. Tidak hanya antara anak dan orang dewasa, antar anak-anak, antar remaja, dan antar orang dewasa pun sering terjadi kesalahan persepsi. Kita hanya perlu bersabar dalam membangun jembatan persepsi yang bisa membuat kita saling mengerti satu sama lain." -Rodez-
So, kalau dari kita ada yang berbuat salah. Jangan marah dulu, tapi pikirkan dulu, tanyakan maksudnya, baru dihakimi... Sepakat?

SMANGAD!
Ditulis pada 9 Feb 2013 18:00. Malam ketika mendung menyelimuti hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar